Senin, 18 Mei 2009

INDONESIA SANGAT MEMERLUKAN PERINGATAN DINI TSUNAMI

Pengembangan Tsunami Early Warning System (TEWS) perlu segera dilaksanakan mengingat daerah pesisir Indonesia banyak memiliki daerah rawan gempa yang berpotensi menimbulkan tsunami. Hal ini juga menjadi penting karena peralatan yang dimiliki Indonesia saat ini beroperasi lebih lambat 10 menit dari rata-rata perkiraan waktu masuknya gelombang tsunami menjangkau daerah-daerah pantai. Bantuan Jepang-Remotely Operated Vehicle(ROV)Hyper Dolphin bantuan Jepang untuk BMG. Alat ini dipergunakan memantau perubahan di kedalaman maksimal 3.000 meter dari permukaan laut. Pada beberapa penelitian di Jepang peralatan ini juga digunakan untuk mengamati perilaku Ikan Hiu. Hal itu dikatakan Kepala Divisi Instrumentasi Geofisika dan Kalibrasi, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Masturyono Ph D kepada wartawan di Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta, baru-baru ini. "Semua alat di BMG operasional, tetapi belum ada yang automatic processing (bekerja secara otomatis) meski sudah real time. Sehingga perlu waktu 30 menit baru selesai. Tetapi, melihat kondisi rata-rata pantai, kita hanya punya waktu 20 menit (waktu gelombang menyerang daerah berpenduduk)," jelas Masturyono. Pada acara yang juga dihadiri Deputi Menristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan IPTEK Wendy Aritenang dan Direktur Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi BPPT Dr Ir Tusy A Adibroto MSi, Masturyono juga mengatakan, peralatan yang real time jumlahnya masih terbatas sehingga penyebarannya pun tidak merata. Hal ini juga menimbulkan keterlambatan pengolahan data. "Peralatan ini perlu disamakan sehingga pengolahan data bisa dicapai dalam waktu lima menit saja," katanya. Selain TEWS, sebenarnya masih ada cara yang lebih ekonomis, seperti yang diterapkan di Cina. Negeri tirai bambu itu menerapkan sistem prediksi dari 10 parameter yang dianalisis. Meski pernah satu kali mencatat sukses besar memprediksi tsunami, cara ini ternyata memiliki kesimpulan yang berbeda-beda di sejumlah negara yang melakukannya. Begitu pula dengan cara statistik yang memprediksi gempa berdasarkan siklus terjadinya (return period). Masalahnya, semakin tinggi besaran (magnitude) gempa semakin lama siklus terjadinya. Selain itu, Indonesia tidak memiliki data gempa yang dapat diandalkan dan ini berarti dapat memperbesar kesalahan (error) perhitungan menjadi 10 persen. "Misalnya gempa enam skala Richter memiliki siklus 10 tahun. Kalau error 10 persen berarti prediksi terjadinya setiap enam tahun," jelas dia. Dengan peralatan seperti itu, maka akan sangat sulit memberikan informasi yang real time. Pasalnya, tsunami rata-rata memiliki kecepatan rambat 12 km per menit atau 200 meter per detik, sementara pantai di Indonesia yang rata-rata hanya berjarak 400 meter dari daerah-daerah rawan gempa. Artinya, tsunami akan menyentuh pantai hanya dalam waktu 4-5 menit. Meskipun peralatan yang ada baru mengumumkan tsunami setelah 30 menit, masih ada daerah yang bisa memanfaatkan peringatan itu. "Misalnya ketika di Parangtritis, Yogyakarta, terjadi tsunami, maka penduduk di Pelabuhan Ratu yang baru dijangkau gelombang tsunami dari Parangtritis setelah 40 menit masih dapat mengamankan diri," katanya. Hal senada dikatakan Wendy Aritenang. "Peralatan dan sistem observasi yang dimiliki beberapa institusi riset maupun instansi terkait masih lebih banyak berfungsi mendeteksi bahaya. Karenanya, perlu upaya integrasi agar hasil observasi menjadi informasi bencana yang dapat disebarluaskan secara real time," katanya. Sebanyak 58 seismograf milik BMG yang tersebar di lima wilayah (Medan, Ciputat, Denpasar, Makassar, dan Jayapura) belum dapat real time. Sebanyak 54 stasiun permanen pengamatan gelombang (tide gauge) milik Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakorsurtanal) untuk mengukur pasang surut air juga belum real time. Sementara, sebanyak 18 Global Positioning System (GPS) milik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) belum terintegrasi ke BMG. Hal yang sama juga terjadi dengan 10 stasiun pengamatan gelombang milik PT Pelindo dan 12 buoys (alat pendeteksi lingkungan laut) milik BPPT. Karenanya, Kementerian Riset dan Teknologi bekerja sama dengan BMG, Departemen Komunikasi dan Informasi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Luar Negeri, Bappenas, Bakornas PBP, BPPT, Bakorsurtanal, LAPAN, LIPI, dan ITB menyusun grand scenario Pengembangan Sistem Peringatan Dini Tsunami di Indonesia (Indonesian Tsunami Early Warning System). Sistem ini diharapkan mampu memberikan peringatan dini dalam waktu lima menit setelah terjadinya gempa. Sistem ini tidak hanya untuk bencana tsunami, tetapi juga memberikan peringatan dini terhadap bahaya bencana lain seperti banjir, tanah longsor, letusan gunung berapi, dan kebakaran hutan. Selain itu, guna menjadi bagian terintegrasi secara internasional, maka sistem ini juga memerlukan protokol standar agar serasi (compatible) dengan kinerja sistem yang berlaku secara internasional. Karenanya, pembentukan sistem ini juga bekerja sama dengan sejumlah negara lain, seperti Jepang, Belanda, dan Cina. Beberapa negara sudah ada yang bersedia memberikan bantuan. Norwegia yang akan membantu memperbarui 12 sea-watch buoys yang sudah dimiliki Indonesia, Jepang akan membantu pengembangan 16 seismograf, dan Cina akan membantu 10 unit seismograf. Persiapan Publik Selain pengembangan TEWS, menurut Tusy, mempersiapkan warga dan infrastruktur agar tahan gempa juga menjadi bagian yang tidak kalah penting dalam grand scenario itu. "Penataan ruang dan pemilihan tempat, serta pembuatan jalan untuk evakuasi juga perlu diperhatikan. Begitu pula dengan persiapan mental," katanya. Keberhasilan tingkat persiapan ini sangat bergantung pada pemerintah setempat. Saat ini sudah ada tiga daerah yang dijadikan percontohan persiapan menghadapi gempa yakni Bengkulu, Sumatera Barat, dan Pangandaran, Jawa Barat. "Rencananya, dalam 10 tahun ke depan, seluruh daerah pantai sudah melakukan hal yang sama," katanya. Sayangnya, seperti dibenarkan Tusy, grand scenario ini belum memikirkan ketersediaan peralatan darurat yang mampu memberikan peringatan dini kepada masyarakat sebelum terbentuknya TEWS. Padahal, belum tentu TEWS terbentuk dalam waktu yang singkat, sementara tsunami belum diketahui kapan akan terjadi lagi, bisa satu tahun ke depan atau lebih singkat lagi. (Y-5) Sumber : Suara Pembaruan (13/5/05) *gh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

slide kulo